Norma-Norma dan Cara Menjatuhkan Hukuman Kepada Anak Menurut Islam
Bersama Pemateri :
Ustadz Abdullah Zaen
Norma-Norma dan Cara Menjatuhkan Hukuman Kepada Anak Menurut Islam adalah bagian dari ceramah agama dan kajian Islam ilmiah dengan pembahasan tentang cara mendidik anak secara Islami (fiqih pendidikan anak). Pembahasan ini disampaikan oleh Ustadz Abdullah Zaen, M.A. pada 4 Shafar 1440 H / 13 Agustus 2018 M.
Download mp3 kajian sebelumnya: Rambu-Rambu Dalam Mendidik Anak Menggunakan Hukuman
Hukum adalah merupakan salah satu metode yang direkomendasikan untuk digunakan didalam mendidik anak. Akan tetapi hukuman yang dimaksud disini adalah hukuman yang memakai norma, hukuman yang memakai aturan, bukan hukuman yang sifatnya sembarangan tanpa aturan. Karena hukuman ketika dijatuhkan tanpa memperhatikan aturan, dikawatirkan hukuman tersebut tidak akan menyelesaikan masalah akan tetapi justru membuat masalah itu semakin besar.
Sehingga sering kita melihat adanya fenomena anak yang sering dihukum, bukannya tambah baik tapi justru tambah tidak baik. Oleh karena itu ketika kita akan memakai hukuman untuk mendidik anak kita, harus ada aturan dan norma-normanya.
Pada pertemuan sebelumnya, kita telah sampaikan dua aturan didalam memakai hukuman saat mendidik anak. Kita akan melanjutkan norma berikutnya, yaitu norma yang ketiga dan yang keempat:
Ketiga, standarkan pemberian hukuman pada perilaku. Jadi kita tahu bahwa ada perilaku ada pelaku. Ada perbuatan, ada orang yang melakukan sebuah perbuatan. Kalau kita akan menjatuhkan hukuman, kita perlu membedakan antara perbuatan yang dilakukan dengan orang yang melakukan perbuatan tersebut.
Kenapa demikian?
Karena sejatinya, walaupun anak kita sering melakukan kesalahan, tapi sebenarnya anak kita ini baik. Dari mana kita mengetahui bahwa anak kita ini aslinya baik? Dari sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam yang diriwayatkan Imam Bukhari dan Muslim:
مَا مِنْ مَوْلُودٍ إِلَّا يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ وَيُنَصِّرَانِهِ وَيُشَرِّكَانِهِ
“Tidaklah seorang bayi yang dilahirkan melainkan dalam keadaan fitrah, maka bapaknyalah yang menjadikannya Yahudi, atau Nasrani atau Musyrik.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Sebagian ulama menafsirkan bahwa fitrah adalah mempunyai tabiat untuk menerima kebaikan. Jadi anak itu oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala manakala dilahirkan ke muka bumi, sudah mempunyai modal. Yaitu kecenderungan untuk menerima kebaikan.
Berarti anak kita ini sebenarnya baik. Seburuk apapun perilaku yang dia lakukan, anak kita ini sebenarnya baik. Banyak orang tua melupakan itu. Dia hanya melihat kesalahan anak saat ini. Dia tidak melihat bahwa anak ini sebenarnya mempunyai potensi kebaikan. Maka ketika kita akan menjatuhkan hukuman untuk anak, jadikan prioritas perhatian kita adalah bahwa anak kita ini aslinya baik, anak ini aslinya mudah menerima nasehat, anak ini aslinya bisa menerima kebaikan.
Kalau kita jadikan itu sebagai modal kita saat menjatuhkan hukuman kepada anak, maka dengan izin Allah Subhanahu wa Ta’ala, anak tersebut akan bisa memperbaiki kesalahan-kesalahan.
Contohnya pada dua ungkapan yang berbeda. Yang pertama adalah ungkapan yang memvonis pelaku. Ungkapan yang kedua adalah ungkapan yang memvonis perilaku.
Misalnya ada seorang ibu yang mendapati anaknya mengambil uang di tas ibunya. Kemudian anak itu ditanya dan dia tidak mengaku. Setelah didesak, baru kemudian mengaku. Ibu ini punya dua pilihan saat ingin menegur anaknya.
Pilihan yang pertama, ibu itu menyerang pelakuny. Pilihannya kedua adalah ibu menegur perilakunya. Coba lihat cara menegur yang pertama. Misalnya seorang ibu akan mengatakan, “Dasar pembohong, sudah jelas-jelas uang itu ditemukan di tasmu kok masih belum ngaku juga kalau kamu sudah mencuri.” Kata “pembohong” di sini mengarah kepada pelaku, bukan perilaku. Seorang ibu langsung memvonis anaknya sebagai pembohong.
Uangkapan kedua, kasusnya sama. Ungkapannya, “MasyaAllah nak, apakah kamu berbohong kepada Ibu? Uang itu kan sudah ditemukan di tasmu. Tapi Ibu yakin kalau kamu adalah anak yang baik dan kesatria” Kata “berbohong” di sini adalah perilaku. Kesatria adalah orang yang mau mengakui kesalahannya manakala dia salah.
Lihatlah bagaimana dua komentar yang berbeda ini. Komentar yang pertama menyebutkan anak dengan mengatakan “Kamu pembohong, kamu pencuri.” Sedangkan komentar yang kedua bahkan menonjolkan kebaikan anak.
Antara dua komentar ini, untuk orang yang tidak terlalu memperhatikan pemilihan kata dia mungkin menganggap kalimat ini sama. Pembohong atau berbohong, pencuri atau mencuri, ini berbeda.
Ketika kita katakan, “Kamu itu pembohong, kamu itu pencuri.” Secara tidak langsung kita sudah memvonis anak kita bahwa memang perilakunya suka mencuri dan mencuri, perilakunya suka berbohong dan berbohong. Sehingga tanpa kita sadari, dibawah alam sadar anak, dia juga memvonis dirinya bahwa dirinya adalah pencuri dan pembohong. Seakan-akan cap itu sudah terlanjur menempel didalam dirinya. Bisa-bisa nanti dikemudian hari anak itu akan mengatakan, “Untuk apa saya memperbaiki diri sedangkan saya sudah menjadi pembohong dan pencuri?” Itulah bahayanya.
Simak penjelasannya pada menit ke-11:07
Podcast: Play in new window | Download
Artikel asli: https://www.radiorodja.com/46572-norma-norma-dan-cara-menjatuhkan-hukuman-kepada-anak-menurut-islam/